Seindah-Indahnya Penjara

Seindah-indahnya penjara bagi harta
kita adalah sedekah dan zakat. Dengan sedekah dan zakat yang terasa berat,
tersimpan banyak sekali nikmat. Dengan sedekah dan zakat yang terasa sulit, ia
akan terganti yang banyak berkali-kali lipat.
Seindah-indahnya penjara bagi tajamnya
lisan adalah diam. Ia memilih diam bukan karena takut dan tunduk, tapi ia
memilih diam karena itulah yang dianggap lebih membawa kebaikan daripada
pembicaraan.
Seindah-indahnya penjara bagi akal
pikiran adalah berilmu. Sebab akal yang mengarahkan anggota badan untuk
berbuat, maka ia harus dipenjara oleh ilmu. Agar baik akalnya, agar baik juga prilakunya.
Seindah-indahnya penjara bagi mata
adalah menundukan pandangan. Bukan berjalan dengan menundukan pandangan saja,
tapi juga menundukan hati, sebagimana dalam shalat kita diperintahkan untuk
memandang tempat sujud. Agar kita belajar bahwa hanya Allah lah yang Maha
Tinggi.
Seindah-indahnya penjara bagi
kebencian adalah rasa persaudaraan. Agar dari kata “kamu yang seharusnya salah”
menjadi “mungkin kamu benar”. Juga dari kata “pendapat itu salah” menjadi “aku
tidak menyukai pendapat itu”. Sesederhana persaudaraan, ambil kebaikan dan
buang keburukan dengan cara terbaik. Tanpa menyakiti, tanpa mencaci.
Seindah-indahnya penjara bagi kita
semua adalah terpenjara dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hingga tersemai
dalam dada tuk meraih ridho dan merindukan surga-Nya.
Seindah-indahnya penjara bagi kita
adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi Yusuf ‘alaihis salam tak mengapa di penjara asalkan ia dalam ketaatan
kepada Allah ta’ala. Tapi, kebebasan dari penjara yang sesungguhnya adalah
kebaikan ketika ia berusaha menuju taat. Sebagaimana Imam as-Syafi’I rahimakumullah lebih memilih terbebas
hukuman penjara dari paham mu’atazilah, lalu pergi menyiapkan kekuatan tuk
menghancurkan keburukan dengan kebaikan.
Seindah-indahnya penjara adalah
penjara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…
Bandung, 17-05-2016