Hancurnya Sebongkah Batu
Hancurnya Sebongkah Batu - Mengapa nur[1] itu tak
berpihak padanya?
Pemuda itu lari dari kenyataan. Berkelana entah
kemana. Mengakhiri hidupnya diatas keputus asaan. Berlari, berjalan, mencari
sesuatu yang bernama kedamaian. Mencari keadilan. Sebab ia tahu, yang berusaha
dengan sungguh-sungguh pasti berhasil. Akan tetapi kenapa ia belum juga
berhasil? Padahal, telah berpuluh tahun lamanya ia belajar. Mengapa?
Ketika setitik cahaya datang, tak ada seorang
pun yang mempu menghadang. Allah Swt memberikan cahaya-Nya dibalik ikhtiar
semua hamba-Nya. sederhana, sangat sederhana. Cahaya itu datang dari sebuah air
dan batu.
Pemuda itu memandang sebuah batu yang ditetesi
air yang lembut, ringan dan tak punya kuasa untuk menghancurkan. Akan tetapi,
seiring dengan terus menerusnya air mentetesi batu, ia melihat batu itu pun
berlubang, menyerah dan mengakui kehebatan dari air yang setiap detik terus
menetesi dirinya.
Pemuda itu pun pulang kembali ke tempat
mengaji. Mengulang dari awal untuk terus belajar, belajar dan belajar. Ia yakin
suatu saat kekerasan batu bisa hancur dan lunak dengan air yang terus menerus
mengguyurnya. Ya, seperti kurangnya pemahaman dalam dirinya tentang ilmu, ia
akan terus berusaha menimba ilmu dengan giat lagi.
Ia membuktikannya, bahwa jalan kesulitan
sangat dekat dengan jalan kemudahan. Kesulitan akan terlewatkan, penat akan
tersirnakan, malam akan segera tergantikan dengan siang. Kehitaman dalam setiap
episode hidup akan selalu berganti dengan cahaya-cahaya baru. Sebab, semua
pasti berlalu.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan,” (Q.S. Al-Insyirah : 5)
Diakhir ujung kegigihannya, kini, ia telah
menghasilkan beberapa karya tulis yang hingga kini masih dibaca oleh orang-orang
muslim diseluruh dunia. Beberapa karyanya adalah Fathul Baari (Syarah Shahih
Bukhari), Bulughul Maram (Kitab rujukan hadist-hadist berkaitan ilmu fiqh) dan lain
sebagainya. Beliau bernama Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolani.
Beliau menamakan dirinya dengan Ibnu Hajar
(anak batu), ya sebab dari sanalah ia mendapatkan setitik pencerahan diatas
malam yang kelam. Saat-saat sudut hatinya sudah tak sanggup, ia bagai batu yang
ditetesi air yang menyejukan. Damai, bahagia dan berkahlah ilmunya.
***
[1] Imam
Syafi’i rahimakumullah mengistilahkan ilmu sebagai cahaya. Sedangkan redaksi
dari sang Pencipta tepat berada pada Q.S. Al – Mulk.