Rumahku, Madrasah Peradaban
Ada rasa haru di hati laki-laki yang terkenal keras suaranya dan gagah tubuhnya. Ia
menoleh kepada salah satu sahabat, “Celakalah engkau hai Ibnu Zam'ah! Apa yang
telah kau perbuat terhadapku? Demi Allah, aku tidak mengira apa yang kau
perintahkan tadi adalah perintah Rasulullah saw., kalau aku tahu niscaya aku
tidak akan pernah berani menjadi imam shalat!” Nah, yang diajak bicara
menanggapinya dengan wajah yang sendu dan sedikit merasa bersalah.
"Demi
Allah, aku tidak pernah diperintahkan Rasulullah saw. untuk memilihmu, namun
ketika kulihat Abu Bakar tidak ada maka engkaulah yang kuanggap yang lebih
berhak untuk menjadi imam kami dalam shalat."
Saat
sulit-sulit seperti itu, Umar pun sebenarnya tak ingin mengimami shalat
seandainya ada Rasulullah saw dan Abu Bakar, tapi karena keduanya tak terlihat
di barisan shalat, maka Umar pun maju. Dimana Abu Bakar? Tidak terlihat di barisan
shalat. Maka ditemuilah Umar yang ada dalam barisan jama’ah shalat. Lalu dimintai
oleh Ibnu Zam’ah untuk mengimami shalat.
Namun,
begitu Rasulullah saw., mendengar suara keras khas Umar menjadi Imam shalat
ketika takbir, Abu Dawud merekam kisah ini dengan menggambarkan munculnya
kepala Rasulullah saw., menghadap barisan shalat, lantas beliau berkata, “Tidak...
tidak... tidak. Hendaklah yang menjadi imam shalat Ibnu Abi Quhafah (Abu
Bakar)!" Beliau mengucapkan hal itu sambil marah.”
Ada
penyesalan di hati Umar.
Maka
diutus orang untuk mencari Abu Bakar dan akhirnya beliau datang setelah Umar
selesai melaksanakan shalat dan Abu Bakar kembali shalat mengimami manusia.
***
Abu
Bakar pun pasti tak menyangka bahwa ia yang dipilih Rasulullah saw untuk
mengimami shalat. Maka dengan segenap kerendah hati sekaligus ketaatannya
kepada Rasulullah, ia menjadi imam bagi kaum muslimin saat itu.
Boleh
jadi, suatu saat kita akan mengalami hal yang sama walaupun tidak sama persis
kisahnya. Ketika kita diminta untuk menjadi imam, sulit bagi kita menolak. Dan kita
tetap perlu melakukannya menjadi imam. Entah itu imam dalam shalat, maupun imam
dalam rumah tangga. Dan kelak kita semua akan menjadi pemimpin yang akan
dimintai pertanggung jawabannya.
“Tiap-tiap kamu sekalian adalah pemimpin. Dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin bagi harta tuannya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim)
Ketika
rindu menikah, mengingat bahwa laki-laki menjadi pemimpin dalam keluarga adalah
sebuah keniscayaan. Laki-laki yang telah dianugerahkan oleh Allah swt., atas
perempuan karena keutamaannya. Baik kemampuannya dalam hal mencari nafkah,
kekuatannya dalam melindungi, dan kejernihan hatinya untuk bersikap bijak dan
berlaku adil di dalam bahtera rumah tangga. Pun demikian dengan perempuan yang
akan menjadi pemimpin di dalam rumah suaminya, madrasah pertama untuk anak dan
menjadi ibu bagi buah hatinya.
Ada
baiknya kita memikirkan hal ini ketika perasaan rindu untuk menikah membuncah
kuat. Kelak, kita akan menjadi pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban
atas yang kita pimpin. Tak perlu takut menghadapi situasi ini, sebab menikah
atau belum menikah pun kita tetaplah pemimpin. Minimal pemimpin untuk diri
sendiri. Maka tak patut bagi yang rindu menikah, menunda pernikahan hanya karena
takutnya pada tanggung jawab.
Kita
hadir bukan untuk memperbesar sebuah masalah, tapi untuk memberikan solusi
terbaik, menjadi khalifah di bumi dan mencarikan solusi terbaik bagi setiap
permasalahan. Maka jika yang rindu menikah takut dengan beratnya tanggung
jawab, adalah tugas kita mencari solusinya, bukan malah merasa takut
berlarut-larut. Sebab Allah swt telah mengkaruniakan kita akal pikiran dan
keluasan dalam berpikir untuk mencari solusi. Jadi, nikmat mana lagi yang
hendak kamu dustakan?
Kuncinya adalah Taqwa
Diantara
cara terbaik untuk bersiap menjadi pemimpin adalah ketaqwaan. Abu Bakar dipilih
menjadi imam shalat karena beliau adalah sahabat terbaik yang jika amalnya
ditimbang oleh sekalian kaum muslimin, tentu lebih berat amalnya Abu Bakar. Umar
bin Khatab dipilih menjadi khalifah kedua karena kemuliaan dan menyingkir para
syaitan jika Umar lewat di hadapannya.
Itulah
taqwa yang memuliakan pemiliknya. Sungguh, yang membedakan budak dan tuan
hanyalah takwanya. Pun yang membedakan pemimpin dan yang dipimpin adalah
kataqwaannya. Maka menjadi penting bagi kita semua, yang akan menjadi pemimpin,
untuk memupuk taqwa dalam ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Dan bila dalam hal
kempimpinan itu, kita mendapat kesulitan, karena ketaqwaan Allah akan
membukakan jalan keluar dari arah yang tak disangka dan diduga.
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. Ath-Thalaq [65] : 2)
Barang
siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka urusan yang sulit menjadi mudah. Sebab Dia
kurniakan jalan keluarnya, Ia mudahkan urusannya. Jadi, bagi yang rindu
menikah, mari kita belajar untuk bersiap menjadi pemimpin yang bertaqwa. InsyaAllah
itulah yang akan menjadi modal utama untuk memimpin dan menjadi cahaya bagi
kepemimpinan kita di dalam bahtera rumah tangga.
***