Berawal dari sebuah keterampilan. Seorang manusia
pasti telah diberikan oleh Allah Subhanahu Wata'ala kelebihan masing-masing. Kelebihan yang
diberikan Allah Subhanahu Wata'ala itu patut disyukuri dan di manfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Begitu juga dalam ilmu. Setiap yang mempunyai ilmu, maka ia seyogyanya
mengajarkannya kepada orang lain, agar ilmu yang ia miliki akan bermanfaat bagi
orang lain. Terutama, ilmu yang diamalkan dan diajarkan kepada orang lain itu
akan menjadi ‘amal kebaikan hingga akhir hayat nanti.
Rosulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda, “Apabila meninggal salah seorang manusia, maka terputuslah ‘amalnya, kecuali tiga perkara : pertama shadaqoh jariyyah, kedua ‘ilmu yang bermanfaat, ketiga anak yang shaleh yang selalu mendo’akan kedua orang tuanya[1].”
Rosulullah Shalallahu 'alaihi wassalam juga pernah bersabda, “Sesungguhnya termasuk yang akan mengikuti seorang mu’min daripada kebaikannya setelah kematiannya adalah ilmu dan menyebarkannya[2].”
Imam Jalaluddin As-Shuyuthi menuturkan, bahwa yang
dimaksud dengan kebaikan dalam hadist diatas adalah ‘ilmunya sedang kata ‘ilman
diatas itu adalah mengajarkannya[3].
Dalam kitab Adab At-Ta’lif karangan Imam Jalaluddin
As-Shuyuthi, ia menuturkan : Telah berpendapat sebagian ‘ulama mengenai hadist
pertama, bahwa shadaqoh jariyah yang masih bermanfaat dan akan terus mengalir
pahalanya setelah wafat salah satunya adalah dengan menulis dan mengajarkannya.
Selama tulisan itu dibaca orang lain dan bermanfaat
bagi orang lain, maka hal itulah yang tidak akan terputusnya pahala selama
tulisan itu dibaca dan di’amalkan orang lain.
Ustadz Bambang pernah berkata untuk memotivasi
santri agar mau menulis. Kedalaman isi kata-katanya sangat bergizi dan layak
dijadikan acauan bagi siapa saja yang ingin menulis. “Satu peluru bisa menembus satu kepala, namun,
satu tulisan bisa menembus seribu kepala (bahkan lebih)”.
***
Santri. Ketika kata itu didengar, maka yang muncul dalam
benak kita adalah seseorang yang belajar agama islam dengan mendiami suatu
tempat baik lama (muqim) maupun sebentar (kalong). Kata santri pun identik dengan
kata pesantren. Sebab, yang namanya pesantren pasti terdapat santri yang
belajar ilmu disana.
Santri adalah orang yang belajar tentang keilmuan
islam bersama para Kiai dan pengajarnya. Kitab-kitab yang diajarkan di
pesantren pun beragam. Mulai dari Aqidah, Fiqh, Alat hingga Tasawuf. Ilmu yang
dipelajari di pesantren sangatlah luar biasa tak ternilai.
Berkaitan dengan belajar, maka Imam As-Shuyuthi pun
mengajak kita agar senantiasa mengamalkan ilmu yang kita dapatkan. Salah satunya
dengan menulis. Banyak para ‘ulama yang membicarakan tentang menulis,s alah
satunya imam As-Syafi’i. Ia menuturkan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.”
Oleh sebab itu, sebagai seorang santri seyogyanya
terbiasa menulis agar ilmu yang didapat dan dipelajari bisa bermanfaat bagi
orang lain. Selain itu, budaya santri menulis juga bisa dijadikan sebagai ‘amal
jariyyah dan pembelajaran ketika suatu saat santri harus terjun ke masyarakat.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Jika engkau bukan
anak seorang raja, atau anak seorang ‘ulama maka menulislah”. Dan masih banyak
lagi perkataan ‘ulama yang membahas dan memotivasi agar para penuntut ilmu bisa
mengajarkan ilmu yang sudah ia dapat dari para guru, ustadz ataupun kiainya.
Nah, diperlukanlah santri yang siap dan mampu
mengamalkan ilmu dan menyebarkannya ke masyarakat luas. Dengan adanya program
santri menulis, masyarakat khususnya pembaca akan lebih terbantu dalam memahami
Islam melalui da’wah tulisan maupun media cetak.
Semoga dengan adanya budaya santri menulis ini akan
lebih banyak orang yang sebenarnya ingin menuntut ilmu --namun berkesibukan--
itu bisa menuntut ilmu melalui tulisan-tulisan yang ditulis oleh santri. Selain
santri itupun mendapat pahala, ia juga telah ikut andil dalam mengajak orang
lain memahami Islam yang benar, yang terjaga keilmuannya.
Santri : Shalihun
Linafsihi, Nafi’un Lighairihi.
***
Advertisement