DZIKIR
“Umi, ayo kita
berangkat,” pintaku agar mempercepat perjalanan.
“Ini sudah siap kok,
Bi,”
***
Hujan
merintik di penghujung desa Cibitung. Awan mendung perlahan menutupi langit
cakrawala. Tik – tik – tik perlahan semakin besar. Burung-burung yang terbang
di langit, semut yang ada di atas tanah dan jangkrik yang seperti biasanya
bersuara lantang perlahan memasuki sarangnya. Jalan menjadi becek, maklum, di
kampungku jalan yang biasa warga lewati belum teraspal.
Aku
berhati-hati ketika menyusuri jalan yang becek itu. Apalagi aku membawa istri
dan buah hati satu-satunya, Ananda Nisa. Nisa masih berumur tiga tahun,
wajahnya cantik sama seperti ibunya.
“Mi,
kita berteduh dulu, hujan semakin besar,”
“Iya,
Bi,”
Aku
memakirkan motor di samping pedagang nasi timbel. Setelah meminta izin untuk
berteduh, aku memakaikan jas hujan kepada Nisa dan istriku.
“Mi,
sebaiknya kita batalkan saja perjalanan ke rumah Uwa. Hujannya sangat deras,”
“Tapi
Bi, kasihan Uwa sendirian di rumah. Ia sedang sakit. Masa kita harus diam saja
disini. Kalau terjadi hal buruk sama Uwa bagaimana?”
Kata-kata
istriku barusan membuat ingatan lama itu kembali. Aku ingat saat Uwa sakit
keras di rumah sakit. Uwa terkena penyakit jantung yang membuatnya lemah tak
berdaya. Bulan-bulan ini, aku sekeluarga rutin menjenguk Uwa seminggu sekali.
“Tidak
apa-apa, Bi. InsyaAllah, Allah akan melindungi kita jika tujuan kita baik dan
mulia. Hujan ini adalah berkah bukan musibah,”
“Baiklah,
ayo kita bersiap,”
Tujuan
kami adalah Pesantren Miftahul Huda. Uwa adalah pimpinan Pondok Pesantren
Mihtahul Huda. Meski kami tahu pasti banyak santri yang siap sedia berkorban
untuk Kiainya, tetapi kami sebagai orang terdekatnya merasa perlu untuk
mengunjunginya. Rencananya, sebulan ke depan kami akan tinggal di pesantren
untuk merawat Uwa.
Rintikan
hujan menemani kami di dalam perjalanan. Sesekali terdengar bunyi gemuruh dari
langit. Pandanganku terus ke depan. Sementara istriku tak henti-hentinya
mengucapkan kalimat dzikir, tasbih dan tahmid sembari mengendong Nisa di
pangkuan belakang dengan erat. Sekujur tubuhnya ditutupi dengan jas hujan yang
lebar.
“Jangan
lupa berdzikir, Bi.”
Perlahan,
bibirku mengucap beberapa kalimat dzikir. Tak henti-hentinya bibirku
mengulang-ulang dzikir yang diajarkan Uwa sewaktu aku jadi santrinya. Dzikir
ampuh yang membuat siapa saja merasa bahwa dirinya kecil dan Allah lah yang
Maha Besar. Dengan dzikir itu, akan terasa bahwa diri kita ini akan merasa
bahwa Allah hanya satu-satunya Tuhan yang bisa menolong.
“Hasbunallah
wa ni’mal wakiil. Ni’mal maula wa ni’man nashiir.” Getar bibirku
mengucapkannya.
Memasuki
jalan raya, sekujur tubuhku terasa dingin. Rasanya kaku mengendarai motor di
tengah-tengah hujan. Bibirku terasa ngilu, tetapi aku memaksakan untuk
mengucapkan kalimat dzikir itu. Rintikan hujan menghalangi pandanganku. Aku
merasakan seperti ada sungai mengalir di depan mata menutupi kaca helm. Aku
hanya memaksakan untuk berhati-hati dengan kondisi seperti ini. Hari ini aku
pasrah kepada Allah.
Aku
juga mendengar alunan dzikir dari belakang. Ternyata, Istriku juga mengucapkan
dzikir. Jalan raya nampak tenang, aku sedikit lega. Tak banyak mobil dan motor
yang berlalu lalang. Hingga tiba-tiba sebuah motor yang melaju dari depan
dengan kecepatan tinggi menghalangi jalanku. Aku merasakan suasana kematian
akan segera mendekati. Aku membunyikan klakson senyaring-nyaringnya.
TIN
– TIN – TINNNNNNN
Beberapa
detik lagi akan terjadi tabrakan antara motorku dengan motor itu. Aku
memejamkan mata.
“Allahhhhhh,”
jeritku.
GUBRAK
Sebuah
motor ringsek akibat menabrak pembatas jalan. Bersama motor itu mengamparlah
beberapa lembar uang 100.000 an. Benturan keras membuat kepala itu pecah. Darah
itu mengalir bersama hujan air hujan yang kian deras. Air hujan yang berwarna
putih kini diselimuti warna merah. Beberapa warga langsung menembus hujan
ketika melihat kejadian itu. Warga berlari.
“Akhirnya,
maling itu mampus juga tanpa kita susah-susah kejar,” kata salah satu warga
berkaos coklat. Tubuhnya sempurna terguyur hujan.
“Maling
itu mendapat ganjaran juga akhirnya,” sahut warga yang lain.
Aku
menatap nanar kejadian itu. Darah itu mengalir deras. Nafasku tersendat-sendat.
Bibirku masih bergemetar mengucapkan kalimat dzikir. Allah menyelamatkan kami
melalui kalimat itu. Ya, kalimat dzikir itu. Rupanya ketika tadi aku memejamkan
mata motorku terus berjalan kedepan, sedangkan motor itu berbelok arah
menghindari tabrakan. Dan akhirnya justru motor itulah yang terkena musibah
sedangkan kami selamat.
“Innalilahi
wa inna ilahi raaji’un,” ucapku.
Sebuah
pemilik sepeda motor yang berada di depanku tadi telah meninggal dunia bersama
darah yang mengalir deras. Tak henti-hentinya aku dan istri mengucapkan kalimat
dzikir. Kali ini, kalimat dzikir itu telah menyelamatkanku dari musibah. Kelak,
inilah pengalaman hebatku bersama dzikir yang bisa kuceritakan kepada orang
banyak. Aku sadar sekarang, kalimat dzikir yang ringan itu tak boleh diremehkan
oleh siapapun juga. Sebab ialah penolong dan penolak bahaya. Sekali lagi, aku
dan istri mengucap syukur atas keselamatan yang diberikan Allah saat ini.
“Hasbunallah
wa ni’mal wakiil. Ni’mal maula wa ni’man nashiir.”
***
Bandung,
25 Juni 2014