:::SURTI:::
:::SURTI:::
Aku menatap
sihir Alexandria. Diatas hotel El-Haram, aku menatap kejadian penuh makna
dahsyat dalam dunia kehidupan. Pergantian pagi membuat hidupku bertambah
semangat. Aku menatap hamparan laut mediterania terbentang luas. Butiran pasir
pantai yang sangat putih membentang dari ujung timur dan barat. Aku menatap
pagi.
Keindahan Alexandria
juga panorama piramid yang menjulang. Juga sungai nil yang besar dan terpanjang sepanjang sejarah. Juga taman
Al-Azhar sebagai Universitas Islam tertua didunia. Aku selalu menikmati setiap
keindahan di bumi “Kinanah” dan bumi “Para Nabi” ini.
Aku menutup
gorden jendela. Telingaku menangkap suara yang tidak asing lagi. Majikanku lah
yang membuat selama ini Aku tinggal di hotel bintang lima.
“ YA MAJNUN !!!
Iqrob !!! 1” suara yang tidak asing lagi bagiku.
“Aiwa ya
sayyidii ... Istanna.2” jawabku.
Seperti biasa Aku
di perintahkan untuk membuat ashir3
mangga setiap pagi. Dan juga tidak henti-hentinya aku dimarahi jika banyak
berbuat salah.
“Bodoh kau ...
DASAR MAJNUN.” Kalimat itu yang sering kudengar.
Jika bukan
karena kebutuhan keluargaku yang mendesak. Adik-adik yang masih butuh biaya
banyak, mungkin aku tidak akan pergi sejauh ini. Sejauh ini pekerjaanku manjadi
TKI ada banyak hikmah yang dapat aku pelajari.
Aku juga tahu
tentang kisah para TKI yang meninggal, hamil oleh majikannya, selalu disiksa.
Namun, aku bukan orang bodoh. Jujur kalau aku akui bahwa aku adalah TKI wanita
yang terpintar ... jujur.
Meski jabatanku
di hotel ini hanya sebagai pembantu, aku tidak mau kehilangan harga diriku. Aku
sangat menjaga harga diri, aku hanya mau menjadi budak Allah saja. Aku tidak
mengangap majikanku adalah seorang raja. Tapi yang menjadi raja dalam hidupku
adalah Allah semata. Setiap di kamar, aku selalu mengkunci pintu. Agar tidak
sembarangan orang bisa masuk ke kamarku. Di negeri orang, aku harus serba
hati-hati.
Aku
menyelesaikan tugasku pagi ini dengan baik. Majikanku senang. Tetapi ada yang
mengganggu pikiranku. Hari ini Madam Sarah pergi ke luar kota untuk urusan mengajar.
Hanya ada Tuan Bortos, aku dan kedua anaknya.
Aku sudah punya
filing akan terjadi hal yang tidak enak. Aku memutar otak. Strategi kudapat.
***
Aku menjahit
baju bekasku di dalam kamar khusus pembantu. Aku membuat simpul nomor handphone
disebuah baju dengan motif yang tidak sama sekali Tuan Bortos tidak ketahui.
Aku tahu, aku tidak boleh sama sekali membawa berkas apapun termasuk nomor handphone sekalipun. Jika angka 0, maka akan
ku jahit motif bunga. Jika angka 1, aku membuat motif tiang bendera. Jika angka 2, aku membuat motif huruf hijaiyah
“ha” dalam bahasa arab dan sampai selesai membuat semua simpulnya.
“Apa itu Majnun?”
tiba-tiba suara Tuan Bortos mengganguku. Tiba-tiba saja ia masuk tanpa aku
sadari. “Dasar tidak tahu adab dan sopan santun,
seenaknya saja masuk ke kamar wanita.” Gumamku.
“Bu .. bukan Ya
Sayyidi. Bukan apa-apa.”
Tuan Bortos
mengambil paksa. Ia menatap jahitanku.
“Jahitanmu bagus
juga.” Kata Tuan Bortos. Aku lega, ia tidak menyadari kalau itu adalah simbol
kontak handphone keluargaku di Indonesia.
Tuan Bortos mengembalikan jahitan itu. Hari ini aku selamat. Bagaimanapun,
aku tidak mau menjadi pembantu yang kehabisan akal. Diriku ini harus merdeka.
Aku hanya ingin menjadi seorang hamba kepada Allah semata. Itu tekadku.
Malam itu bel
pintu berbunyi. Kantor pos. Aku senang,
pasti dari Indonesia.
Majikanku tidak
mengerti bahasa Indonesia, jadi aku bisa dengan mudah jika ingin membohogi
majikanku. Jujur Aku berbohong demi
keselamatanku. Demi kehormatanku. Demi jiwa ragaku. Aku tidak mau harus
menderita seperti berita yang kudapatkan. Bahwa ada yang diperkosa, disiksa dan
dianiaya.
Dipojok surat itu tertulis “SURTI”.
Hanya aku yang mengerti maksudnya. Majikanku?
Nggak mungkin ia ngerti.
"Assalamu’alaikum
wr.wb.
Kak
Fatimah, ini Deden adikmu. Kak, kapan Kakak pulang? Deden sudah sangat rindu
kepada Kakak. Emak juga, Emak amat sangat merindukan Kakak. Lima tahun uang
kiriman dari Kakak sudah sangat cukup untuk kami Kak, yang kami inginkan Kakak
cepat pulang. Emak juga bilang begitu. Uang yang Kakak kirim sudah kami gunakan
untuk membuka usaha disini. Kami tidak butuh biaya dari Kakak lagi. Yang kami butuhkan
hanya .... kakak cepat pulang.
Deden
dan Emak tunggu Kakak dirumah. Ingat Kak, kami sudah sangat cukup dengan
membuka usaha ... jadi ... cepat pulang yah ... "
:::SURTI::: (Surat tercinta dari
Indonesia) --- Deden Ahmad Rifa’i
Mataku
berkaca-kaca ketika membaca surat itu. Deden sudah berhasil. Dan memang, itulah yang aku harapkan. Aku selalu
memberi motivasi ke Deden melalui surat-surat agar ia mandiri dan berani
berjuang. Berkat motivasi dariku dan pertolongan Allah, masa depan Deden
tergambar jelas. Deden sudah punya warung makan sederhana di pinggir jalan. Dan
jujur ... laris.
Aku terus
memutar otak. Aku harus segera menemukan cara agar aku bisa keluar dari negeri
ini dan pulang ke Indonesia. Aku membayangkan wajah Deden, Emak dan keluarga.
Aku tersenyum bangga.
Malamnya, aku
bermunajat kepada Allah. Aku meneteskan air mata. Secercah cahaya masuk kedalam
relung hatiku. Aku mengambil foto Deden dan Emak. Aku peluk foto itu sembari
sujud. Aku berdo’a melirih.
KREEKKK!!!
Pintu bergeser.
Aku menatap keluar. “Siapa itu?
Malam-malam begini ke kamarku.” Lirihku.
“Hey, Majnun. Cepat
kesini !!!,”
Aku panik
seketika. Ini pasti yang aku pikirkan dan kejadian TKI wanita lain yang pernah
merasakannya. Sambil memutar kepala, aku mendekati Tuan Bortos.
“Pijati aku !!”
“Aiwa ya
sayyidi,”
Perlahan aku
memijat kakinya dengan tenang. Aku berpikir negatif. Segalanya sudah kupersiapkan.
“Badannya Majnun.”
Aku menurut. Saat ini, aku dan Tuan Bortos sangat begitu dekat.
Dan benar
... Aku mau diperkosa. Aku mengelak
keras. Tetapi Tuan Bortos lebih kuat lagi. Tuan Bortos memegang tanganku,
bibirnya hendak menciumku. Aku tersungkur dijatuhkan keatas kasur. Dan ...
“Assalamu’alaikum?”
suara dari pintu. Alhamdulillah. Pasti
itu suara Madam Sarah.
“Tolong ...
tolong.” Aku berteriak.
“KREEKKK!!!”
Pintu terbuka. Madam Sarah juga punya kunci rumah sendiri. Tuan Bortos
kesetanan. Senyumku kembali. Tuan Bortos melepaskanku. Aku selamat dan terus
beristigfar berkali-kali.
“Awas kau
mengadu pada Ibu.” Kata Tuan Bortos.
“Hey !!! kau pikir Aku bodoh.” Lirihku dalam
hati.
“Ada apa ini?”
tanya Madam Sarah.
Tuan Bortos
menatapku nanar. Kau pikir Aku akan
takut, sudah lama jiwaku terancam selama Madam Sarah tidak ada disini.
Lalu, aku menjelaskan
semua yang terjadi di depan madam Sarah. Mulai dari pemerkosaan, kerja paksa
dan sudah beberapa kali aku mau digauli. Tidak ada yang kukurangi atau kutambahi.
Madam Sarah melihatku prihatin. Madam Sarah memerah menatap suaminya. Kelakuan
bejadnya sudah sangat keterlaluan.
“Maafkan aku Mah
.. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Demi Allah, Mah.” Kata Tuan Bortos
memelas. Sampai-sampai ia menaruh ujung jarinya di keningnya. Seperti bersujud.
“Berdirilah
suamiku,”
Dan ... PRAAKKKKK. Tamparan keras yang membuatku
tersenyum. “Rasakan itu Tuan Bortos.
Allah tahu hukuman yang setimpal untukmu.” Lirihku dalam hati.
“Suami tidak
tahu diri ... mana Al-Qur’an sebagai pedoman agama kita? Mana akhlaq Nabi yang
menjadi panutan kita? Hah ... “
“Sabar Madam ...
Aku menganggap masalah ini selesai. Tapi ... dengan satu syarat,” kataku
melirih.
“Apa Ya
Fatimah?”
“Aku hanya ingin
pulang ke kampung halamanku, Madam.”
“Hmmm ...
baiklah. Ini juga demi kebaikanmu dan kebaikan rumah tanggaku. Aku
mengizinkanmu. Sampaikan rasa maafku kepada keluargamu. Besok akan aku
persiapkan segala urusan kepulanganmu. Laki-laki ini biar aku saja yang
mengurus. Silahkan Fatimah mulai sekarang berbenah. Gaji bulan ini dan biaya
pulang biar aku yang tanggung.”
Aku bersujud ke
lantai, memuji Allah. Mengucapkan beribu-ribu terimakasih kepada Madam Sarah.
Aku kembali kekamar dan menulis surat ke Indonesia. Aku mengabarkan bahwa
diriku selamat karena pertolongan Allah. Allah menjawab segala do’aku. Aku
berhasil menjadi hamba Allah yang merdeka.
Aku membaca
ulang suratku ... kuberi tema “SURTI”
atau Surat Tercinta Untuk Indonesia.
Aku lampirkan alamat rumahku. Paginya langsung aku kirim lewat pos.
Lima hari sebelum
besoknya aku pulang ke Indonesia. Aku mendapat balasan dari Deden. Aku
membacanya perlahan. Alhamdulillah. Emak
dan keluarga sangat gembira mendengar berita itu.
“Kutunggu Kak,
Emak sudah menyiapkan air mata untuk Kakak. -- Deden --”
Siang itu, aku
menaiki pesawat. Tangisku pecah. Aku larut dalam kegembiraan dan kesedihan. “Mak, Den, tunggu Kakak yah.”
Di atas langit
para Malaikat mengucapkan salam. Salam penghormatan kemuliaan bagi siapa saja
yang menjaga diri dari kubangan dosa. Menjaga hati. Menata hati. Dan yang
selalu merasa merdeka dihadapan manusia. Tidak terkecuali Allah Ta’ala. Karena
hanya kepada-Nya lah sepatutnya kita menghamba.
***
1.
Wahai
orang gila, cepat !!
2.
Iya
tuanku ... sebentar.
3.
Jus
mangga.