Jihad yang Sebenarnya di Bulan Ramadhan
Jihad yang Sebenarnya di Bulan Ramadhan, oleh Wildan Fuady. #Juz3 #Tulisan3Ramadhan
Sudah jamak kita ketahui bahwa bulan ramadhan adalah bulan
yang penuh berkah. Bulan ramadhan punya banyak sekali kemuliaan yang tiada
terkira, salah satunya syetan diikat, pintu nereka tertutup dan pintu surga
terbuka.
Namun tidak sedikit dari kita yang melihat beberapa orang tetap
melakukan kemaksiatan di bulan ramadhan, padahal syetan telah diikat dan tidak
diperkenankan menggoda manusia. Sungguh ini keanehan yang luar biasa.
Pernah suatu kali saya pergi ke salah satu kampus di negeri
ini untuk mendaftarkan adik kuliah. Pukul 11 siang saya mendapati warung
makanan terbuka dengan ditutupi gorden. Bahkan tak malu melabeli warung dengan
label “buka 24 jam”. Yang mengherankan,
saya mengintip ada beberapa laki-laki yang ikut makan. “Wah, mengapa mereka tak
berpuasa?” begitu pikir saya.
Salah satu alasannya mungkin mereka non muslim, itu wajar. Mungkin
kalau seorang perempuan bisa jadi ia berhalangan atau nifas. Namun bagaimana
jika dia seseorang laki-laki muslim yang tidak ada halangan baginya? Tentu ini
membuat kita semua gelisah. Padahal kita sama-sama tahu bahwa syetan
benar-benar diikat dan tidak bisa menggoda manusia.
Ternyata sebabnya adalah adanya hawa nafsu di dalam diri
kita. Hawa nafsu terbagi dalam tiga jenis. Satu,
nafsu mathmainnah. Yaitu nafsu
yang mengajak pemiliknya kepada kebaikan. Apalagi di bulan ramadhan ini, ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT semakin semangat. Yang awalnya tidak
biasa membaca satu juz per hari jadi terbiasa. Yang biasanya jarang shalat
sunnah jadi rajin shalat sunnah. Tak lupa shalat wajib dan ibadah-ibadah yang
lainnya.
Imam Al-Ghazali meletakkan nafsu ini di tahap yang tertinggi
dalam kehidupan manusia. Pendapat
ini dikuatkan dengan adanya Firman Allah SWT dalam al-Qur’an, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S al-Fajr : 27-30).
Kedua,
nafsu lawwamah. Yakni nafsu yang tidak konsisten terhadap sesuatu. Ia
mudah sekali berbolak-balik dan berwarna-warni. Ia adalah nafsu yang suatu saat
bisa menjerumuskan kita ke dalam kemaksiatan jika kondisi iman tengah melemah,
namun ia juga yang merupakan nafsu yang mudah sekali menyesali kesalahan dan
mengembalikan ke jalan yang benar.
Salah seorang mudjahid al-Hasan al-Basri pernah mengatakan,
“Anda akan
melihat seorang mukmin selalu menyesali dirinya sendiri, sembari berkata,’Aku
tidak mau ini? Mengapa aku melakukannya? Padahal, yang ini lebih utama daripada
yang ini’.”
Bisa dikatakan nafsu ini adalah nafsu tengah-tengah. Maksudnya
nafsu ini terkadang membawa pemiliknya kepada maksiat, namun ia juga yang
pandai menyesali dan mengembalikan ke jalan yang benar.
Maka benar bahwa iman ini kadang naik dan kadang turun. Al-iimanu yazid wa laa yankus. Dan mungkin di sinilah peran nafsu
lawwamah yang kadang mengurangi iman seseorang dan kadang menaikan iman
seseorang.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah mengatakan, “Iman itu sebagiannya lebih unggul dari
yang lainnya, bertambah dan berkurang. Bertambahnya iman adalah dengan beramal.
Sedangkan berkurangnya iman dengan tidak beramal. Dan perkataan adalah yang
mengakuinya.”[1]
Boleh
jadi tidak sedikit orang berbuat maksiat di bulan ramadhan karena terbawa oleh
nafsu lawwamah ini. Syetan sudah tidak bisa menggoda, tapi masih ada nafsu
lawwamah yang sewaktu-waktu bisa menjerumuskan kita ke jalan yang salah.
Nah, ini jenis nafsu yang ketiga,
yakni nafsu
Ammaarah bis Suu’. Yaitu nafsu yang selalu mengajak kepada
keburukan dan ini merupakan nafsu yang paling tercela. Nafsu ini adalah lawan
dari nafsu muthmainnah. Keduanya saling bertabrakan pandangan.
Jika nafsu
muthmainnah mengajak pemiliknya kepada kebaikan, nafsu ammarah bis suu’
menyaingi dengan mengajak pemiliknya kepada keburukan. Mungkin nafsu inilah
yang masih berkeliaran di bulan ramadhan untuk mengajak pemiliknya kepada
maksiat. Jika peran syetan sudah tidak ada, maka peran nafsu ini yang masih
bisa mengajak pemiliknya kepada kemaksiatan dan keburukan.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.” (Q.S. Yusuf : 53)
Nasehat Rasulullah SAW dalam Urusan Nafsu
Bulan
ramadhan ini selain manusia berlomba-lomba dalam kebaikan tentu manusia juga
berlomba memerangi hawa nafsunya. Baik dalam urusan menahan lapar dan haus,
menahan perbuatan yang tercela sampai menahan diri terhadap kemaksiatan.
Bagi
kaum muslimin, rasulullah SAW pernah menasehati kita ketika pulang dari perang
badar. Pada saat itu beliau bersabda, “Kita baru balik dari peperangan yang kecil
kepada peperangan yang maha besar.”
Para sahabat bertanya : "Apakah
peperangan yang maha besar itu ya Rasulullah?”
Jawab beliau : “Perang melawan nafsu.”
(H.R. Imam al-Baihaqi)
Melalui
hadits ini, rasulullah SAW menyampaikan bahwa adanya perang besar yang terjadi
di dalam diri manusia, yakni melawan hawa nafsunya. Perang ini merupakan perang
yang sangat besar. Bahkan bisa dikatakan dengan jihad yang sebenarnya. Sebab, perang melawan musuh dengan pedang
itu mudah, namun perang melawan diri sendiri itulah yang susah.
Dengan
adanya bulan ramadhan ini, kita berharap semoga bisa menjadi benteng sekaligus
terapi kepada nafsu agar selalu condong kepada nafsu muthmainnah, sehingga di
bulan-bulan yang lain, kita mampu memanajemen nafsu dengan baik dan tidak
tergoda ke dalam nafsu ammarah bis suu’ ataupun nafsu lawwamah yang mengajak
kepada keburukan.
Mari
bersama-sama berjihad yang sebenarnya melawan nafsu keburukan dalam diri kita. Semoga
dengan keberkahan bulan ramadhan ini bisa menjadi latihan dan terapi buat nafsu
kita ke depannya. Syaratnya, kita perlu memaksimalkan bulan ramadhan dengan
ibadah-ibadah yang lebih banyak lagi dari sebelumnya. Sehingga kita bisa keluar
dari bulan ramadhan dengan memiliki kemenangan yang sesungguhnya dan berdampak
positif di bulan-bulan lainnya.
[1] Diriwayatkan al-Khalaal dalam kitab as-Sunnah 2/678