Bicara yang Baik dan Senyum Kemenangan
Di terik matahari yang panas, As’ad
bin Zurarah dan Mush’ab bin Umair pergi ke perkampungan Bani Abdul Asyhal dan
Bani Zhufr untuk meluaskan risalah dakwah. Mendengar kabar kedatangan As’ad dan
Mush’ab, dua tokoh pemimpin bani tersebut, Sa’ad dan Usaid bin Hudair tak rela
dengan kedatangan mereka berdua. Berkatalah Sa’ad kepada Usaid, “Pergilah
menuju kedua orang yang telah datang membodohi kaum lemah di kalangan kita,
lalu berilah keduanya pelajaran serta laranglah mereka datang ke perkampungan
kita ini. Sesungguhnya As’ad bin Zurarah adalah anak bibiku, andaikata bukan
karena ikatan itu, niscaya aku sendiri yang membereskannya.”
Pun begitu, telah ada dendam lama
di hati Usaid, sebab tak rela dengan kedatangan seseorang yang ingin
mempengaruhi perkampungan yang dipimpinnya. Sebagai ketua dari perkampungan,
sudah menjadi tugasnya membereskan sesuatu yang bermasalah di kampungnya.
Maka Usaid mengambil tombaknya dan
pergi menemui Mush’ab dan As’ad. Ketika As’ad melihatnya, ia menyampaikan
kepada Mush’ab, “Ia adalah pemimpin kaumnya, dia telah datang kepadamu. Karena itu,
tunjukanlah kebenaran dari Allah kepadanya.”
“Bila ia mau duduk,” sahut Mush’ab.
“Aku pasti berbicara kepadanya.”
Usaid, pemimpin kaum di kalangan
mereka berdiri, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Kalian mau membodohi
orang-orang lemah di kalangan kami? Menjauhlah dari kami, jika kalian berdua
masih memerlukan nyawa kalian!”
Umpatan tersebut dibalas oleh Mush’ab
dengan sunyum berseri-seri.
“Sudikah kiranya Anda duduk dulu
lalu mendengar. Jika Anda berkenan, silahkan Anda terima. Jika Anda tidak
berkenan, cegahlah apa yang tidak Anda sukai itu dari diri Anda.”
“Baiklah. Aku setuju.” Lalu Usaid
menancapkan tombaknya lalu duduk.
Kemudian Mush’ab pun berbicara
tentang Islam dan membacakan ayat-ayat al-Qur’an.
“Demi Allah!” komentar Usaid. “Sungguh
kami sudah dapat mengenal Islam dari wajahnya yang berseri dan bersinar sebelum
dia berbicara.”
***
Inilah ketenangan yang dimiliki
Mush’ab, sang duta Islam pertama. Sulit memang, ketika mau mengabarkan berita
gembira kepada orang yang tidak suka dengan apa yang hendak kita sampaikan. Berat
rasanya. Di satu sisi, adalah wajib kita menyampaikannya, suka maupun tidak.
Hal pertama yang harus dilakukan dalam
keadaan seperti ini meredam kemarahannya baru mengambil hatinya. Kita ingat,
berbicara dengan marah ketika berdiri solusinya adalah “duduk”. Maka mempersilahkan
duduk menjadi solusi pertama bagi keberhasilan dakwah.
Menanggapi api dengan api tidak
akan pernah selesai. Api lawannya air yang jernih, suci dan melegakan. Sudah
menjadi hajat besar kita untuk menyediakan air tersebut dalam bentuk senyuman
tulus, wajahnya yang berseri, tidak menggurui, dan berbicara dengan baik tanpa
membuat lawan bicara tersudutkan apalagi merasa dikalahkan.
Mush’ab adalah seorang pemuda,
Usaid adalah pemimpin kaum dan usianya terbilang sudah sepuh. Dan kita sadar,
tak mudah membicarakan suatu gagasan kepada orang yang lebih tua usianya dari
yang berbicara. Boleh jadi yang lebih tua akan merasa digurui, dan itu
menyebabkan apapun yang disampaikan akan terasa seperti penghinaan.
Bukan itu yang dilakukan Mush’ab,
ia sadar bahwa ia pemuda yang tengah berbicara dengan orang tua. Maka,
pembicaraan yang baik pun berawal dari ‘meredamkan’ kemarahan dalam bentuk mempersilahkan
duduk. Kita ingat, petuah Sang Nabi tentang marah? Jika dalam keadaan berdiri,
duduklah. Jika dalam keadaan duduk, berbaringlah.
Yang dilakukan Mush’ab bukan ‘memerintahkan’
duduk, tapi ‘mempersilahkan’ duduk. Lalu berlanjut pada pilihan yang tak
memberatkan lagi tak menyudutkan, duduklah dan silahkan dengarkan. Jika tidak
berkenan, terimalah. Jika tidak, cegahlah ia dari diri Anda. Sebab penghormatan
kepada yang lebih tua, tidak menggurui yang lebih tua, Mush’ab sukses
mendapatkan hati Usaid dan menanamkan agama Islam dihatinya.
Mush’ab bin Umair mengajarkan kita
arti keakraban, ketenangan, kelemah-lembutan sekalipun terhadap lawan yang
hendak menghabisinya. Itulah kunci kemenangan, membalas umpat dengan kata yang
bijak, membalas marah dengan senyum, membalas derita dengan kabar gembira.
Pada akhirnya, kita sama-sama tahu
bahwa kalimat berikutnya yang diucapkan Usaid bin Hudair adalah,
“Alangkah
indahnya dan alangkah bagusnya hal ini? Lalu, apa yang kalian perbuat bila
kalian ingin masuk ke dalam agama ini?”
Subhanallah, ketenangan, kelemah-lembutan, senyum yang berseri
membawa keberkahan bagi lawan untuk menjadi kawan. Inilah senyum keimanan dan
ketaqwaan, bukan pembenaran yang dicari dalam pembicaraan, tapi kebenaran. Bukan
ego yang ditampilkan, tapi kerendah-hatian. Bukan umpat yang dilontarkan, tapi
kata-kata penuh kebijaksanaan.
Inilah inti dari sikap yang bisa diteladani
dari Mush’ab, bahwa kemenangan sejati adalah memenangkan sesuatu tanpa membuat
lawan merasa dikalahkan.
***