Ujian, Kilas Balik dari Rasa Cinta

Titik
kesulitan hadir di tengah-tengah kehidupan kita sebagai hamba yang ingin menuju
surga-Nya. Bukan tidak mudah, tapi titik kesulitan adalah kilas balik dari rasa
cinta Allah kepada hamba-Nya.
Kakeknya
kita semua, Nabi Adam ‘alaihis salam
pernah mengalami masa-masa sulit, posisi titik tersulit ada di dalam diri dan
istri yang dicintainya. Ketika ia tengah berasyik masyuk dengan kehidupan
surga, lalu ada satu bisikan yang membawanya ke titik kesulitan itu; memakan buah
yang dilarang Allah. Kelihatannya ujian itu mudah, sebab banyak alternatif lain
yang bisa saja dimakan oleh kakek kita semua.
Tapi benar,
titik kesulitan yang halus dan perlahan-lahan kadang lebih menjatuhkan
ketimbang yang secara keras berdatangan.
Seperti
sebuah analogi dari Ustadz Rahmat Abdullah, seekor binatang yang naik ke sebuah
pohon besar, lalu datang angin kencang yang mengoyang-goyangkan pohon hingga
membuat binatang tersebut semakin erat pegangannya di dahan pohon. Berbeda
dengan angin yang perlahan-lahan dan sepoy, justru angin tersebut malah
melenakan dan perlahan-lahan membuat binatang itu terbuai; hingga jatuh ke
tanah.
Kisahnya
Nabi Adam ‘alahis salam mungkin tepat
dengan analogi diatas. Dimana, musuh terberat bagi seorang hamba ada di dalam
dirinya, ada di dalam nafsunya. Itulah titik kesulitan pertama dalam hidup
seorrang hamba, yakni titik kesulitan yang berasal dari dalam diri sendiri.
Titik
kesulitan kedua, ia hadir dari luar kehidupan kita, bisa dari teman, saudara,
keluarga dan masyarakat. Mungkin kita ingat kisahnya pemuda tampan, Nabi Yusuf ‘alahis salam. Titik kesulitan dalam
hidupnya berasal dari saudara dekatnya. Bermodalkan cemburu saudaranya, Yusuf
harus rela menerima kenyataan pahit dengan di buang, di jual, menjadi budak dan
mendekam di penjara.
Lalu kita
sama-sama ingat, bahwasanya anak dari Nabi yang sangat sabar dalam berdakwah,
Nuh ’alahis salam, pun tidak bisa
mengikuti jejaknya. Itu membuat Nabi Nuh ‘alahis
salam terpukul dan menangis. Nabi Nuh sangat berharap anaknya bisa ikut
dengannya dan selamat dari azab Allah. Bayangkan saja betapa berat titik
kesulitan hidupnya?
Dan kita
sama-sama ingat, penyakit yang bertahun-tahun di derita oleh Nabi yang sangat nrimo, sangat menerima ini adalah
penyakit yang sulit sekali disembuhkan. Adalah Nabi Ayub ‘alahis salam menjalani titik kesulitannya dalam berpenyakit,
kehilangan harta dan terutama kehilangan yang ia cintai; keluarga.
Baik, itu
titik-titik kesulitan yang para nabi alami, lalu bagaimana dengan diri kita
sendiri? Mungkin pernah di suatu masa kita merasakan hal-hal tidak mengenakan
hati itu menampar, menjatuhkan bahkan membuat kita menangis.
Mungkin
pernah kita merasakan demikian itu, meskipun dengan titik kesulitan yang
berbeda-beda datang dan perginya.
Bahkan, di
suatu kesempatan Wildan pernah bertanya, “Di dunia ini siapa yang paling
sedih?” mayoritas jawabannya adalah si anu dan si anu. Dan ketika Wildan
bertanya lagi, “Di dunia ini siapa yang paling bahagia?” mayoritas akan
menjawab si anu dan si anu.
Padahal,
jawaban yang paling tepat adalah diri kita sendiri. Ya, di dunia ini yang
paling sedih adalah diri kita sendiri, sebab saat sedih, jarang sekali kita
memikirkan bahwa di luar sana ada banyak orang yang nasibnya jauh lebih sulit
dari kesedihan kita. Juga di dunia ini, yang paling berbahagia adalah diri kita
sendiri, sebab saat bahagia kita bisa merasakannya dan tidak tahu bahwa ada di
luar sana seseorang yang tengah dalam titik kesulitan.
Pernah juga
kita merasakan kelaparan, sedikitnya pembendaraan hidup, kehilangan seseorang,
sakit, dikhianati, nilai jelek, pengangguran, di PHK, dan sebagainya menjadi
bagian dari puzzle kesulitan hidup kita.
Kita merasa bahwa di dunia ini hanya hidup kita yang sulit. Bahkan
pernah di suatu masa ada seseorang yang menegaskan, “hidup ini tidak adil!
Orang baik selalu mendapat kesulitan, sedangkan orang jahat tertawa-tawa atas
kebahagiaannya”.
Duhai
saudaraku tersayang, mari sejenak kita merenung bersama-sama.
Pertama,
berapa lama ujian datang? Bisakah kau bandingkan lebih banyak mana antara
kesenangan dan kesulitan yang menghiasi hidupmu?
Kedua, jika
tidak ada “punggung” untukmu bersandar, bukankah masih ada sajadah untuk
bersujud?
Oh mungkin
inilah saatnya, membongkar rahasia sukses mereka-mereka yang telah melalui
masa-masa sulit.
Nabi Adam ‘alahis salam mendapatkan ampunan dari
Allah setelah ia berjuang bertaubat, memohon dan menginsyafi
kesalahan-kesalahannya di masa lalu, dan ia bersujud.
Nabi Yusuf ‘alahis salam mendapatkan kepemimpinan
Mesir setelah ia dibenci, dibuang, manjadi budak, menolak berzina lalu
dipenjara. Dalam kesulitannya, Yusuf selalu dekat dengan Allah. Yaitu saat
diajak berzina, Yusuf mengatakan dengan tegas kalau ia takut kepada Allah. Dan
ia pun bersujud hingga mendapatkan kemenangan yang nyata.
Lalu Nabi
yang amat sabar dalam dakwahnya, Nuh ’alahis
salam. Dicaci, dicap gila, dihinakan, tapi kedekatannya kepada Allah
membuat seluruh kesulitan yang ia hadapi menjadi mudah. Termasuk merelakan anak
terkasihnya mendapatkan adzab dari Allah. Dan Nabi Nuh pun bersujud kepada
Allah.
Lalu Nabi
yang amat sabar dalam penyakit dan kehilangan, Ayub ‘alahis salam. Betapa penyakit menggerogoti tubuhnya, hingga hanya
hati dan lisannya saja yang tersisa. Keluarga meninggalkannya, harta raib
semuanya. Tapi ia tetap sabar dalam menghadapi kesulitannya. Hingga ia berdoa
kepada Allah agar menyembuhkan penyakit yang dideritanya lalu bersujud.
Seketika mukjizat datang. Menyembuhkan semuanya.
Duhai
saudaraku tersayang, perasaan sedih, sakit dan takut terhadap ujian hanyalah
kilas balik dari rasa cinta Allah kepada hamba-Nya.
“Apakah
kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang
kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian?
Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
bersamanya : Bilakah pertolongan Allah? Ingatlah bahwa sesungguhnya pertolongan
Allah itu amat dekat.” (Q.S. Al-Baqarah
:214)
Mari
sejenak kita merenungkan kiat-kiat apa saja yang harus dilakukan ketika
mendapatkan sebuah ujian hidup:
Sabar
Ya, sabar
adalah pondasi kokoh untuk tidak tergesa-gesa memutuskan bahwa hidup ini tidak
adil. Orang jahat hidupnya enak, sedangkan orang baik hidupnya penuh kesulitan.
Kenapa kita harus sabar dalam menghadapi kesulitan? Karena “Sabar adalah
menahan jiwa dari keluh kesah dan marah,” tulis Ibnu Qoyyim di dalam Madarijus Salikin. “Menahan lisan dari
mengeluh serta menahan anggota badan dari berbuat tasywisy (tidak lurus).”
Sabar
adalah menahan jiwa dari keluh kesah; agar
keluh kesah kita terpenjara untuk ditampilkan ke hadapan manusia dan
hanya berkeluh kesah kepada Allah.
Sabar
adalah menahan jiwa dari marah; agar keluh kesah tidak menjadikan hidupmu
susah. Agar keluh kesah tidak menjadikan hdupmu terombang ambing dengan mudah.
Sabar
adalah menahan lisan dari mengeluh; agar lisan tetap terjaga dari mengeluh
kepada manusia, agar lisan mulia hanya mengeluh kepada-Nya.
Sabar
adalah menahan anggota badan dari berbuat tasywisy; agar sabar menjadikanmu
semakin bertaqwa dan yakin akan pertolongan-Nya.
Sabar,
sebagaimana yang sering kita dengar dari nasehat-nasehat ‘ulama bahwa sabar ada
tiga macam; sabar dalam berbuat ketaatan kepada Allah, sabar dalam menahan
untuk maksiat, sabar dari segala cobaan yang
Allah berikan.
Duhai
saudaraku terkasih, sabar amatlah berat. Menjaga agar tetap sabar membutuhkan
perjuangan. Tetapi, mengupayakan agar
tetap sabar merupakan keinginan termulia dari dalam jiwa kita.
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah
agar kamu beruntung.” (Q.S. Ali Imran :
200)
Sebagaimana
sabar dikaitkan dengan peperangan, sedangkan kita tahu bahwa keadaan perang
amatlah dahsyat, emosi menyeruak, kondisi tidak stabil, lelah bercampur
keringat menjadi satu, dan antara menang atau syahid menjadi pilihan. Tapi
begitulah firman-Nya, diibaratkan sesulit dan setakut apapun kondisi kita
–sebagaimana kondisi perang- kita diminta untuk tetap sabar. Tidak lain bukan
karena kalah atau menyerah, melainkan agar kita beruntung.
Sebagaimana
Nuh ‘alahis salam yang sabar dalam
dakwahnya, Yusuf ‘alahis salam yang
sabar atas perbudakannya, Ayub ‘alahis
salam yang sabar atas penyakitnya dan Rasulullah al-Musthafa yang sabar dalam membawakan risalahnya.
Masing-masing
manusia mempunyai kesulitan dan tantangan hidup. Ini semua bukan karena Allah
tidak adil, tapi karena Allah ingin tahu seberapa beriman dan bertaqwanya kita
di dunia. Agar di dunia ini menjadi ajang untuk berlomba dalam kebaikan.
Maka sabar,
adalah salah satu modal untuk menjalani ujian dan tantangan hidup, hingga
sukses dunianya, sampai ke akhiratnya.
Shalat
Mungkin
bahu sudah tak lagi berdaya untuk menjadi sandaran kesulitan hidup, mungkin
punggung tak lagi kuat memikul beban hidup, tapi tenang… masih ada sajadah atau
lantai yang suci untuk bersujud.
“Allahus
shamad.”
Allah lah
tempat segala sesuatu bergantung. Ya, hanya kepada Allah lah selayaknya keluh
kesah, beban di punggung, sakit di jasad, luka di jiwa dan semuanya
dipasrahkan. Hanya kepada Allah lah kita menyembah dan meminta pertolongan.
Tiada daya dan upaya melainkan semuanya atas pertolongan Allah.
Sedangkan sujud,
ruku’, bacaan dan semua gerakan dalam shalat, adalah upaya yang seyogyanya kita
ikhtiarkan untuk mengagungkan Allah, memohon dan mentawakkali semua urusan kita
kepada-Nya. Sebab, hanya kepada Allah lah kita berharap dan memohon
pertolongan.
Sujud dalam
shalat adalah upaya untuk menghalangi-halangi kesulitan ujian membesar di hati.
Dengan shalat, ujian hidup akan terasa mudah. Dengan shalat, ujian hidup
semakin terasa ringan. Dengan shalat, ujian hidup tidak akan lagi membebani.
Namun,
shalat ditengah-tengah ujian hidup amatlah berat. Ada hal-hal yang menghalangi
pelaksanaan shalat. Dan al-Qur’an sungguh mengisahkannya untuk kita semua.
“Bagaimana
pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia melaksanakan shalat?
“Bagaimana
pendapatmu jika ia (yang dilarang shalat itu) berada diatas kebenaran (petunjuk),
atau ia menyuruh bertaqwa (kepada Allah)?
“Bagaimana
pendapatmu jika dia (yang melarang itu) mendustakan dan berpaling?
“Tidakkah
dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?” (Qs. Al-‘Alaq : 9 - 12)
Al-hafidz Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu menggaris bawahi dalam tanwirul miqbas (Tafsir Ibnu Abbas) bahwa orang yang menghalang-halangi shalat sebagaimana digambarkan
al-Qur’an adalah Abu Jahal. Dia menghalangi-halangi orang yang ingin mendirikan
shalat.
Jika boleh
dianalogikan, ujian hidup itu seperti sesuatu yang menghalang-halangi untuk
mendirikan shalat kepada Allah. Bahkan ketika ditimpa ujian yang berat iman kita
benar-benar sedang diuji, apakah kita akan tetap konsisten beribadah kepada
Allah ataukah sebaliknya.
Maka,
ketika ujian hidup benar-benar berupaya menggerogoti iman kita, tidak ada cara
lain selain memaksakan diri, bertarung dengan ujian hidup, bertarung dengan
hawa nafsu, bertarung dengan kesedihan agar tetap istiqomah berdiri untuk
melaksanakan shalat dan mengagungkan kebesaran Allah.
Sekali-kali
jangan turuti apapun yang menghalang-halangimu untuk mendirikan shalat apapun
ujiannya, apapun halangannya. Akan tetapi, tetaplah mendirikan shalat dan
bersujud kepada-Nya.
“Sekali-kali
tidak! Janganlah kamu patuh kepadanya, dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu
kepada Allah).” (Qs. Al-‘Alaq : 19)
***
Duhai saudaraku tersayang, sungguh
ketika punggungmu terasa berat dengan ujian hidup ini, mari senantiasa kita
jaga kedekatan dan penghambaan kita, hingga berkah, khusnul khatimah, dan sampai
kepada jannah.
Pabuaran, 28 Maret 2016