Tentang Impian dan Orang Tua
![]() |
Aku tidak pernah bercita-cita untuk kuliah selepas
lulus SMK. Keluarga lebih menyarankan aku untuk bekerja saja. Kondisi ekonomi yang
pas-pas-an membuat alur kehidupan keluarga berbeda. Sudah menjadi tradisi
keluarga bahwa seorang anak lelaki yang lulus dari sekolah harus langsung
bekerja, mencari uang, dan membantu ekonomi keluarga.
Tahun 2012 saya lulus dari sekolah SMK. Tak terbayang kebahagiaan keluarga saat itu. Mereka telah lama menanti agar saya bisa segera bekerja. Rona senyum dan kegembiraan pun terpancar jernih dari wajah kedua orang tua, Ibu dan Bapak. Memang itulah yang mereka tunggu.
Bapak hanya seorang pedagang keliling yang
pendapatannya pas-pasan. Cukup, kadang tak mencukupi. Sedangkan ibu hanyalah
seorang Ibu rumah tangga yang terkadang membantu berjualan gorengan, nasi uduk
dan mie goreng di sekolah SD kampung.
Aku masih punya kakak dan adik. Kedua kakak ku sudah berkeluarga dan sibuk dengan urusan keluarganya. Dan kakak mewariskan tradisi ini sampai kepada pundakku. Dua adik laki-laki dan dua adik perempuan yang masih sekolah menunggu uluran tanganku. Berharap, aku akan membantu mereka agar adik-adik tetap lanjut sekolah. Harapan mereka, ada di atas pundakku. Sebagai seorang laki-laki dikeluarga, aku pun setuju bahwa aku harus bekerja.
Masih terngiang-ngiang sampai saat ini ditelinga
perkataan Ibu saat itu, “Dan …” kata Ibu sembari menatapku. “Ibu doakan Wildan
sukses ya. Biar bisa bantu adik-adik yang masih dibawah.” Dan aku pun
mengangguk pelan.
Beberapa hari kemudian aku pun mengumpulkan berkas-berkas lamaran pekerjaan. Aku mencari informasi-informasi tentang lowongan di koran, lewat teman maupun saudara. Dan Alhamdulillah, Allah memudahkan ikhtiar saya dalam niat membantu orang tua. Dalam waktu singkat aku sudah diterima di perusahaan swasta di kota Depok.
Aku bekerja penuh keyakinan. Ujung mataku boleh saja
memandang ke depan, tapi isinya adalah bayangan keluarga dan adik-adik yang
menungguku dirumah. Menunggu senyum dariku yang ketika awal bulan berganti. Ah …
disinilah saya merasakan benar-benar menjadi seorang kakak. Lalu, selama ini
aku kemana? Entahlah.
Ditengah perjalanan, aku dikejutkan dengan berita yang akau dapat dari Om saat itu. Ada tawaran beasiswa dari pemerintah untuk kuliah gratis asal syaratnya dipenuhi. Aku masih ingat, saat itu Om membacakan sebuah ayat Al-Qur’an yang sampai saat ini saya ingat.
“Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan.”
(Q.S. Ar-Rahman [55] : 33)
Om menyemangatiku untuk berani mengambil keputusan, berani mencoba dan berani keluar dari zona nyaman. Dalam sekejab, Om berhasil membuatku yakin untuk bisa kuliah. Apalagi aku sangat yakin bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya. Rezeki kan ada dimana-mana, pikirku saat itu. Betul kan?
Aku membulatkan tekad, yakin bahwa aku bisa meraih
penghasilan lebih ketika kuliah nanti. Kan bisa saja Allah memberikan rezeki
yang tak terduga. Rezeki tersebar dimana-mana kok. Kata Om, “Jangan pernah
takut tidak mendapat rezeki, manusia itu sudah ditentukan rezekinya. Jadi,
dimanapun berada, pasti diberikan rezekinya. Nggak akan tertukar rezekinya.” Begitu
Om menyemangatiku agar selangkah lebih maju.
Satu hari berikutnya, aku bercerita kepada Ibu tentang keinginan untuk kuliah. Merantau ke kota lain. Belajar dan mencari titik kehidupan yang baru. Aku izin pada Ibu.
Ibu menatapku dengan pandangan haru, kukira Ibu akan
menyetujui langkahku, ternyata tidak. Sebuah kata-kata lembut namun tajam
terucap dari lisan mulia. Menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Dan … kalau Wildan tinggal di luar sana, biaya dari mana? Nanti tinggal dimana? Siapa yang akan bantu adik-adik?”
Ah … aku urung untuk meneruskan keinginanku untuk
kuliah. Stop, tak tega rasanya.
Sejak saat itu, sejak melihat tatapan Ibu, aku berusaha menghindari komunikasi dengan Om. Takut-takut kalau Om berhasil menyuntik semangatnya kepadaku lagi. Dan benar, selang beberapa hari aku tak bertatap lagi dengan Om, demi menjaga perasaan Ibu.
Perasaan lega terputus lagi. Ternyata Bapak sering
berkomunikasi dengan Om. Bapak memberitahuku tentang tawaran dari Om. Bapak sih
setuju-setuju saja. Toh, itu semua demi kebaikan ku. Akhirnya, pada suatu sore,
saat semua berkumpul di ruang tengah, Bapak menceritakan hasil obrolannya
dengan Om dan bapak setuju kalau aku merantau ke kota lain.
Diusiaku yang ke 18 tahun, aku dipaksa harus merantau oleh Bapak. Kadang, aku suka mendengar perdebatan Ibu dan Bapak soal permasalahanku. Bapak setuju, sedangkan Ibu agak menolak. Bukan, bukan karena Ibu tak menyetujui, tapi Ibu khawatir kepadaku tentang nasib diriku di kota yang jauh dengan rumah. Dan Bapak pun benar, ingin agar aku bertambah dewasa dan mandiri. Keduanya benar dan mempunyai alasan yang kuat.
Oh … malangnya diriku. Aku menjadi sebab
pertengkaran mereka. Ingin sekali kukatakan, “Sudah, sudah jangan bertengkar! Wildan
akan menurut kepada keputusan yang paling baik.” Tapi aku urungkan. Bodohnya diriku
saat itu, masih mental kekanak-kanakan. Tak punya nyali untuk menentukan, tak
berani ambil keputusan.
Sejak saat itu aku tak banyak bicara. Aku lebih baik diam saja. Tak membicarakan satu hal apapun terkait keinginanku untuk kuliah di luar kota. Hanya saja, Allah berkehandak lain. Ibu menghampiriku, ia menatapku dengan lamat-lamat penuh arti cinta.
“Dan … kalau Wildan mau kuliah, sekarang Ibu ridho. Ibu
yakin, suatu saat Wildan akan sukses.”
Mendengar kata-kata itu hatiku berbunga. Seperti ada angin segar yang menyejukan hati yang gersang. Menyemai lembut hingga ke relung sanubari. Maka detik itu pula aku mantap mengatakan, “Bismillah, aku akan berusaha meraih beasiswa itu.”
Aku mengadukan keputusan ini kepada Om. Dan dengan
senang hati, Om mengurus semua keperluanku untuk mendapatkan beasiswa. Seperti ijazah,
surat keterangan lulus, sertifikat prestasi sampai-sampai aku pun mengumpulkan
hasil rata-rata nilai rapotku.
Bimillah, aku mantap menatap masa depan, tanah baru, keluarga baru dan sahabat baru. Tepat pada bulan Agustus aku meluncur ke Bandung untuk melengkapi persyaratan penerimaan beasiswa bersama Om. Setelah persyaratan cukup, tinggal menunggu waktu tes tulis dan wawancara. Aku pun kembali ke rumah dengan perasaan lega. Restu Bapak dan Ibu sudah kudapatkan. Impian ku untuk kuliah sebentar lagi akan terwujud.
Aku pulang dari Bandung dengan perasaan berbunga dan
lega. Aku tidak merasa khawatir tinggal dimana dan dengan siapa. Aku hanya
yakin, Allah akan menempatkanku ditempat yang diridhoi-Nya. Bagiku, dimanapun
tempatnya, asal Allah ridho, maka aku pun ridho. Begitu pikirku.
Sehari setelah kepulangan, aku dikejutkan dengan kata-kata kakak. Rupanya kakak nggak begitu setuju aku kuliah di Bandung. Kakak lebih memintaku untuk bekerja saja sembari kuliah. Aku ingat, bagaimana kakak memarahiku saat itu, “KALAU TETEP KE BANDUNG, JANGAN TANYA KE KAKAK KALAU ADA APA-APA!!! EMANGNYA KELUARGA KITA BANYAK DUIT??? UANG DARI MANA KALAU KAMU KULIAH!!!”
Ah … menetes sudah air mata hati dan jiwaku. Semangatku
luntur kembali. Seolah-olah aku dibawa melayang untuk memikirkan kembali
bagaimana kehidupan luar tanpa dekat dengan orang tua? Uang dari mana? Akan tinggal
dimana?
Sempurna sudah semangat yang telah aku tanam selama ini …
Ujian tulis dan wawancara itu tetap berlangsung
meski semangatku tak seperti dulu. Tak seperti pertama kali aku datang ke
kampus ini. Semangat tinggi yang kubawa ke kampus ini pertama kali, kini hilang
dibawa alunan angin yang melambai syahdu.
Aku ujian tertulis dengan seadanya, tidak dengan semangat. Bukan, bukan karena aku bodoh. Tapi karena aku berharap aku tidak diterima dikampus ini. Jadi, aku tetap melanjutkan sesuatu yang telah aku jalani, tapi aku berusaha menghindarinya.
Tes wawancara pun kujawab dengan seadanya. Datar-datar
saja. Mudah-mudahan dengan begitu aku tidak diterima. Tidak ada semangat
seperti dulu lagi saat wawancara. Aku pasrah dengan keadaan. Aku pasrah dengan
ke Maha Adilan Allah.
Aku pulang membawa sejuta cerita dalam hidup. Antara aku harus menilai diri payah –tak bisa memperjuangkan mimpi- atau memang aku mengalah dengan kemauan keluarga. Entahlah … saat itu aku hanya pasrah.
Aku menceritakan kepada keluarga tentang apa yang
aku lakukan. Tentang ketidak semangatan ku mengerjakan ujian dan tes wawancara.
Aku bilang kepada Ibu, “Semoga saja Wildan nggak
diterima, Bu.” Dan ibu hanya terdiam.
Selang beberapa hari kemudian. Saya ingat, satu bulan kemudian, tepatnya bulan September, pengumuman kelulusan pun diumumkan. Betapa kagetnya ketika nama saya menjadi daftar orang-orang yang diterima menjadi salah satu mahasiswa penerima beasiswa unggulan. “Allah” batinku. “Mungkinkah ini skenario yang terbaik dari-Mu?”
Aku terisak di pangkuan Ibu, antara menangis dan
bingung. Antara dua pilihan yang berat : kesempatan dan ketidak restuan. Pilih yang
mana? Sebagai seorang anak aku hanya bisa menyerahkan pilihan ini kepada Ibu
dan Bapak. Jika mereka merestui, dengan bismillah
aku berangkat. Jika tidak, maka aku akan menolak. Aku sudah tidak perduli
dengan nasehat kakak, yang aku harapkan saat itu adalah restu Ibu dan Bapak.
Aku mencoba berbicara kepada Ibu. Aku ingat, selepas shalat aku menghampiri Ibu. Duduk didepannya sembari menatap wajahnya yang indah. “Bu, menurut Ibu bagaimana? Wildan menjadi salah satu orang yang diterima beasiswa unggulan. Mohon pilihannya, Bu, apa Wildan batalkan atau terima?”
Aku ingat, saat itu Ibu terharu sekaligus sedih. “InsyaAllah
Ibu setuju, Dan….” Kata Ibu. Sebuah kata yang sangat aku syukuri saat itu. “Tapi
…” Ibu melanjutkan. Ahh … jika ada kata tapi berarti … “Nanti Wildan tinggal
dimana? Sama siapa?” aku menagis saat itu. Ternyata Ibu memikirkan keadaanku
nanti. Saat itu aku jadi belajar, bahwa orang yang pertama kali ingin kubahagiakan
adalah Ibu.
Bapak pun menyetujui. Hanya saja, cara bicara Bapak tak seperti Ibu. Bapak langsung mengiyakan saja dengan cepat. Tanpa pikir panjang langsung bilang yes. Maka dengan bismillah, aku bertekad untuk tetap melanjutkan study meski kakak tidak setuju.
Dan pada saat 17 September 2012, saya resmi menjadi
Mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Bandung. Alhamdulillah, wasyukrulillah, ‘ala
ni’matillah.
Jadi, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?
--the end--
Catatan semester akhir
Wildan Fuady