Mereka Tidak Pernah Terlambat
PADA
saat hari seminarnya di sebuah universitas, pemuda itu datang lebih awal.
Seminar itu dijadwalkan mulai pada jam 8 pagi. Pemuda itu pun datang sebelum
jam 8 pagi. Ia memang berusaha agar tidak mau mengecewakan panitia. Ia ingin
memberikan kesan terbaik sebagai pembicara. Begitulah prinsip pemuda itu. Tidak
mau datang terlambat.
Ketika sampai di gedung seminar, jam menunjukan
pukul 8 pagi. Ia terkaget melihat bangku peserta yang masih kosong. Ia berusaha
menunggu hingga jam 8 lebih namun hanya beberapa yang baru hadir. Panitia pun
menemani berbincang sembari menunggu peserta datang. Pemuda itu pun antusias
menanggapi pembicaraan panitia dengannya. Obrolan pun berlangsung sangat
menarik.
Salah satu panitia –tak saya sebutkan disini- membisikan sebuah kalimat. “Kang, maaf ya … namanya juga Jam Indonesia … Jam karet.” Ups, pemuda itu pun tersenyum simpul. Menyemai kalimat menyesakan itu dengan bingkai bermental pejuang. “Tidak apa-apa,” kata pemuda itu sembari tersenyum. Akhirnya seminar itu dimulai tepat pukul 10.00 pagi.
Dibalik senyumnya, ia terngiang-ngiang satu hal. Apa
hubungannya kata ‘terlambat’ dengan ‘Indonesia’? Apa semua kata terlambat
memang pantas disematkan untuk Negara ini? Oh … kurasa tidak. Mari! Akan kuajak
engkau berjalan sebentar. Melihat dunia ini yang amat luas. Bukan hanya
kepahaman kita dengan kata ‘jam karet’ dan jam ala Indonesia. Kemana? Keruang
pikirku untuk sebentar saja …
Jam ala ‘Indonesia’
Jika kita mengira bahwa Indonesia adalah sebuah
Negara yang tepat disematkan untuk istilah keterlambatan dengan ‘Jam Karet’
atau ‘Jam Indonesia’, maka aku berpikir selainnya. Aku lebih berpikir bahwa
kata yang pantas disematkan adalah ‘Indonesia Tidak Pernah Terlambat’. Ya
benar, Indonesia tidak pernah terlambat. Itulah ruang pikirku.
Jauh dari itu, Indonesia sama sekali ‘tidak pantas’
disematkan kata terlambat. Karena Indonesia tidak pernah terlambat. Indonesia
selalu menghargai kesempatan dan tepat waktu. Ya, itu benar.
Kita tinggalkan dulu Indonesia, mari ku ajak berkeliling Negara luar lainnya. Sebut saja Negara X. Entah mengapa di tatanan kehidupannya mereka tidak pernah terlambat dan tidak mau terlambat. Mereka sangat menghargai waktu. Untuk menjelaskan kebenaran Negeri X ini, saya persilahkan Dr. Raghib As-Sirjani mengisahkan perjalanannya di negeri X. “Saya pernah,” tulis Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Keajaiban Shalat Subuh. “Ingin menghadiri suatu seminar. Saya agak terkaget karena acaranya dimulai pukul 06.00 pagi. Saya berpikir hal itu tidak mungkin terjadi. Biasanya acaranya dimulai pukul 08.00 pagi. Namun hal ini membuatku penasaran. Maka aku pun pergi ke seminar itu sebelum jam 06.00 pagi. Alangkah terkagetnya aku bahwa peserta seminar sudah mengisi bangku-bangku yang kosong dan ruangan itu sudah penuh dengan lautan manusia.”
Peserta seminar itu sudah datang sebelum waktunya. So,
alangkah indah tinggal di negeri X itu. Mereka memiliki warga yang sangat membanggakan.
Saya sendiri pun terkejut membaca kisah itu. Entah mengapa saya jatuh hati
terhadap sikap mereka yang sangat menghargai waktu. Mereka telah membuat
seorang Dr. Raghib As-Sirjani –seorang ‘ulama terkenal- menulis kisah indah
yang secara otomatis mengharumkan Negara tersebut. Bayangkan jika sejuta orang
yang telah membaca bukunya, maka secara otomatis juga sejuta orang telah
‘percaya’ bahwa Negara X adalah Negara yang sangat membanggakan. Begitu …
Kita kembali ke Negara kita tercinta, Indonesia.
Sedikit saya menceritakan betapa pendahulu kita mengajarkan banyak hal. Sebut
saja Ir. Soekarno, yang mengajarkan kepada kita bahwa Indonesia Pasti Merdeka,
dan tidak akan pernah terlambat. 17 Agustus 1945 ditanamkan sebagai sebuah
tanggal yang tidak akan pernah terlambat untuk merdeka. Indonesia pasti
merdeka. Sebuah kepastian yang amat memesona dari leluhur kita.
Kebaikan adalah sebuah keniscayaan. Dan kembalinya
Indonesia harum dengan ketepat waktuan adalah niscaya. Indonesia tidak akan
pernah membawa dirinya. Tapi kitalah yang membawa Indonesia. Jadi, renungan
pemuda diatas bukanlah hal kosong, melainkan hal sederhana yang sulit dipahami
oleh seseorang yang membuat alasan klasik, lalu menyalahkan budaya. Sungguh,
menyalahkan budaya adalah alasan yang tidak tepat, bukan?
Di jalan kemenangan … kita yakin bahwa suatu saat
perubahan yang sangat mendasar itu ada di dalam diri kita. Ya, diri kitalah
sang perubahan itu. Perubahan yang amat sederhana, namun membawa dampak yang
luar biasa bagi diri. Terutama bagi Indonesia agar tak senantiasa dicaci.
Mengenang hal ini, saya jadi terngiang nasehat Guru kita semua tentang salah
satu rahasia 3 M nya, “Mulailah dari diri sendiri,” Begitu Aa Gym menasehati.
Dan saya pun ikut menambahkan, “Jika menginginkan perubahan, mulailah dari diri
sendiri, untuk berjanji tidak mau
terlambat lagi.”
Mereka yang Tidak Pernah Terlambat
“Sungguh,” kata Umar bin Khatab radiyallahu ‘anhu. “Engkau adalah pemburu kebaikan.” Lanjut
Umar atas kekagumannya kepada Abu Bakar Ash-Siddiq.
Pujian ini diucapkan Umar bin Khatab radiyallahu ‘anhu atas pembicaraan pagi itu. Imam Jalaluddin
As-Suyuthi merekam pembicaraan ini di dalam Tarikh
Al-Khulafanya. Setelah shalat subuh berjama’ah, para sahabat berkumpul
bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Terucaplah sebuah pertanyaan dari
lisan termulia. “Siapa diantara kalian yang puasa hari ini?” Sabda Rasulullah.
Maka, Umar bin Khatab menjawab dengan jujur, “Wahai
Rasulullah, saya tidak berniat puasa semalam, maka saya berbuka hari ini.”
Mendengar jawaban Umar bin Khatab, bak gigi
gemeretak, suara mendayu pun terbuka,
“Alhamdulillah, saya semalam berniat
puasa dan saya kini sedang berpuasa.” Ternyata suara itu dari lisannya Abu
Bakar Ash-Siddiq.
“Lalu adakah diantara kalian yang mengunjungi orang
sakit?”
“Kita belum memasuki siang,” kata Umar bin Khatab
tegang. “Lalu bagaimana kita bisa
mengunjungi orang sakit?”
“Saya mendengar bahwa Abdurrahman bin ‘Auf sakit,”
jawab Abu Bakar Ash-Shiddiq. “Maka sembari berangkat saya melewati rumahnya
untuk melihat bagaimana kondisinya di pagi ini.”
Umar terkesima dengan penuturan Abu Bakar
Ash-Shiddiq.
“Lalu,” lanjut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. “Siapakah diantara kalian yang memberi
makan orang miskin di pagi ini?”
“Kami shalat wahai Rasulullah, dan matahari belum
juga terbit.” Umar bin Khatab berkomentar.
“Saat memasuki masjid,” kenang Abu Bakar Ash-Siddiq.
“Saya dapati seseorang meminta-minta. Saya dapatkan sepotong roti dari
Abdurrahman, saya ambil roti itu dan saya berikan kepada orang yang
meminta-minta tadi.”
Lagi-lagi Umar bin Khatab terkesima.
Kita tinggalkan sebentar kisah ini. Abu Bakar, sang
pemburu kebaikan. Ia benar-benar melakukan sesuatu yang mengagumkan. Berusaha menjadi
yang pertama, the first. Sebab tak jarang, keterlambatan dimaknai dengan
biasa-biasa saja, lumrah dan wajar. Tapi tidak bagi Abu Bakar, semua waktunya
merupakan ladang kebaikan.
Mengapreasiasi ‘amal shaleh Abu Bakar Ash-Siddiq
ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam memberikan sebuah kabar yang sangat indah, mencengangkan dan
dirindukan siapa saja yang hadir disitu. Bagaimana tidak? Kalimat pamungkas
dari Rasulullah ini sangat dicintai para sahabat.
“Kabar gembira bagimu dengan surga.”
Terdiamlah seluruh jama’ah. Begitulah, sebuah
apreasiasi bagi mereka yang selalu ingin menjadi yang pertama, tidak mau
terlambat dan berusaha sesungguh mungkin untuk tidak terlambat. Di dalam rasa
cinta kepada kebaikan, kata terlambat tidaklah ada di dalam kehidupan kita. Terlambat
hanya ada bagi orang-orang yang belum ingin bersegera meraih kebaikan. Dua kalimat
bagimu surga adalah kalimat terindah yang dimaknai oleh orang-orang yang
bermental pejuang.
Di jalan kemenangan, menjadi orang yang pertama adalah sebuah karakter
yang harus mendarah daging. Mereka lebih senang menunggu ketimbang ditunggu dan
dicemaskan oleh orang banyak. Dan ketika hadir, ada rona kekecewaan dari para
sahabat, teman maupun saudara-saudara kita. Bukankah sangat indah jika kita
bersama belajar menghargai waktu yang telah kita janjikan?
Di jalan penuh perjuangan meraih kesuksesan,
menjadi seseorang yang datang lebih awal, lebih pagi, sebelum waktunya,
merupakan awal kemenangan sempurna. Bagimu surga, bagimu surga. Maka berlomba-lomba
menjadi yang pertama adalah hal yang indah. Sehingga, tak ada lagi yang
beralasan dengan jam karet atau jam ala Indonesia lagi. Namun, yang terucap
adalah kata maaf dan penyesalan atas
keterlambatan, bukan mencari alasan-alasan.
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran [3] : 133)
Selamat datang para pejuang. Mari berlomba menjadi
yang pertama!