Berada Dijalannya
Sudah seminggu yang lalu, aku merasakan hal yang aneh pada diri Gugun,
sahabatku. Biasanya dia adalah orang
yang ceria dan selalu bermain bersamaku dan teman yang lainnya di lapangan. Ada
banyak hal yang kami lakukan. Kami terbiasa bermain sama-sama. Bagi kami,
persahabatan ibarat tali yang kuat. Persahabatan itu tidak boleh putus.
Aku adalah salah satu orang yang tidak ingin
persahabatan itu putus. Karena itulah, aku memikirkan kebiasaan Gugun yang
akhir-akhir ini aneh. Gugun lebih banyak melamun dan merenung di gubuk sawah
milik abahnya. Setiap hari, kalau aku perhatikan ia hanya duduk diatas gubuk
sembari menatap langit yang biru dengan ditemani sejuta pohon padi yang
terbentang. Akhir-akhir ini juga, Gugun jarang bermain. Ia lebih memilih
digubuknya saja. Dan akupun heran. Muncul analogiku perlahan menerawang lubang
hitam yang tersingkap. Pergi menelusuri dasar kedalaman hati yang membuat orang
yang kata Gugun itu : ketenangan.
Aku masih tidak mengerti apa maksud ketenangan yang
Gugun ucapkan. Sungguh, aku tidak mengerti. Hingga aku mencoba mendekati Gugun
yang sedang berdiam di gubuk tua yang sedang tersenyum ditengah-tengah ladang
padi nan hijau.
“Assalamu’alaikum Gun, nuju naon anjeun teh diditu?[1]”
Ujarku membuyarkan senyumannya.
“’Alaikum salam, ieu nuju nyari ketenangan.” Jawab
Gugun yang masih tersenyum dengan senyuman khasnya.
“Ketenangan?” spontan lidahku mengucapkan kalimat
itu tanpa ku duga yang tentu saja aku kebingungan dengan ucapan Gugun.
Gugun kembali
tersenyum. Semakin membuatku merasakan hal
yang aneh pada dirinya.
“Setiap manusia sudah memiliki jalannya. Tinggal
manusianya lah yang harus mencari letak ketenangan itu ada. Dimana di tempat
itu ia merasa nyaman dan ikhlas melakukan sesuatu.” Tambah Gugun.
“Contohnya Gun?” tanyaku lagi.
“Misalnya, kalau kamu suka bola, pasti kamu akan
senang hati melakukannya dan tentu saja ketenangan akan hadir sisitu. Begitupun
sebaliknya.”
“Aku masih nggak ngerti sama kata-kata kamu Gun.”
Ucapku lagi. Dahiku berkerut. Kepalaku menggeleng benar-benar belum paham yang dimaksudkan
Gugun.
“Begini, aku disini nyaman sekali hingga aku
meninggalkan kalian dalam bermain, kerana aku telah menemukan keihklasanku
disini. Inilah tempat ketenangan itu hadir di dalam hatiku. Inilah tempatku
bertafakkur. Tentu saja, aku menemukan ketenangan dalam tafakkur. Maka, itulah
jalanku. Disaat aku ikhlas dan ridho terhadap yang aku lakukan.”
Aku hanya bisa terdiam dengan apa yang Gugun sampaikan.
Tidak terasa Gugun sudah jauh seperti ini jalannya. Kalimatnya benar-benar
tidak kusangka.
Jalan.
Benar, seperti apa yang pernah ku dengar dari Ustad
Faiz, “Man Shala ‘ala darbi washala[2].”
Ingatanku kembali terbayang kepada pelajaran minggu lalu. Apa yang
disampaikan Ustad Faiz benar. Manusia akan menemukan titik kejenuhan bilamana
manusia itu sendiri tidak ikhlas sepenuhnya dalam mengerjakan suatu hal.
Kuncinya ikhlas dan tetap di jalannya.
“Gun, itu seperti hikmah dan pesan yang di sampaikan
Usad Faiz minggu kemarin.” Ujarku untuk memecah kebingunganku.
“Memang, aku hanya berusaha utuk mengaplikasikan hal
itu.” Tersenyum. Dalam batinku akupun malu. Terkadang kehidupan sejati adalah
kehidupan yang dijalani dengan ikhlas dan sepenuh hati. Ada rasa kagum terhadap
Gugun dalam diriku. Kali ini, aku mengerti akan sebuah jalan kehidupan.
Tentunya setelah mengetahui dimana dan apa yang membuat sesuatu itu ikhlas
apabila dikerjakan.
***