Kerudung Merah Buat Ibu
Senin,
12 Oktober 2010
“Aku
janji tidak akan pulang sebelum sukses Bu.”
Mendengar
itu sang Ibu hanya diam, merenung dan menahan air matanya. Ibu percaya anaknya
bisa sukses.
***
Ibu
melipat dahi. Sudah dua tahun ia dalam kesendirian. Yang ia inginkan hanya
satu. “anaknya kembali” itu saja. Ia menatap senja, perlahan-lahan bumi nan
cerah berganti malam. Ia menutup jendela kamarnya dengan mata berkaca-kaca.
Angin
malam mulai dingin. Ibu mencuci tangan sebanyak tiga kali. Lalu, mencuci mulut
dan hidung. Mengusap seluruh wajahnya yang mulai keriput. Membasuh tangan,
telinga dan mencuci kaki.
Ibu
shalat magrib sendirian dirumah. Dalam do’anya ia mengucap-ngucap nama anaknya.
Do’a kebaikan untuk anak agar ia bahagia didunia dan di akhirat.
“Assalamu’alaikum?”
suara terdengar. Pintu diketuk. Perlahan Ibu membuka pintu. Kantor pos.
“Terimakasih
Pa.”
“Sama-sama
Bu.”
Ibu
membuka sepucuk surat itu. Ia tersenyum. Dari anaknya.
"Assalamu’alaikum
wr.wb
Dari
anakmu – Fajri Kamal, untuk Ibu yang sangat aku cintai
Bagaimana
kabar Ibu disana? Mudah-mudahan Ibu dalam lindungan Allah SWT. Amiin. Ibu,
alhamdulillah Fajri sudah lulus kuliah di ITB. Sekarang sedang membuka usaha
makanan di Bandung. Alhamdulillah sukses besar Bu. Besok aku pulang ke rumah
Bu. Aku kangen sama Ibu. Ini dulu ya Bu.
Wassalamu’alaikum
wr.wb"
Dan
benar. Pertemuan itu terjadi. Ibu memeluk erat anak satu-satunya itu. Matanya
berkaca-kaca. Tangis membanjiri tiada reda.
“Maafkan
aku baru pulang Bu,”
“Tidak
apa-apa Nak, yang penting kamu sehat.”
Nak. Andai engkau tahu
apa yang Ibu derita. Sungguh Ibu tidak akan mampu memberitahukannya kepadamu.
Ibu hanya ingin engkau bahagia. Tanpa harus kamu tahu yang sebenarnya.
Ibu melepas pelukan. Dalam batin-nya sesungguhnya ia menangis. Namun, ia mampu
untuk menutupi keadaan sesungguhnya.
Malam
itu mereka berdua makan bersama. Fajri melepas semua ceritanya saat di Bandung.
Pengalamannya, kisah hidupnya, perjuangannya dan semua lika-likunya. Ibu
tersenyum bangga. Anaknya bisa sekuat dan sesabar itu. Ibu hanya turut
berterimakasih kepada Allah yang telah memberi petunjuk kepada anaknya.
“Bu,
usiaku sudah dua puluh lima tahun. Aku ingin menikah Bu.” Kata Fajri.
“Apa
kamu sudah punya calon Nak?”
“Sudah
Bu,”
“Orang
mana?”
“Satu
kuliah denganku Bu, orang Bandung.”
“Kamu
punya fotonya?”
“Ini
Bu.” Sembari menunjukan sebuah kertas foto. Ibu memperhatikannya. Matanya
menangkap kekecewaan.
“Kamu
yakin dengan dia Nak?”
“Sangat
Bu.”
“Tetapi
ia tidak berjilbab.”
“Tapi
cantik lho Bu, InsyaAllah dia akan menjadi baik jika denganku.”
“Ibu
rasa ibu tidak akan setuju Nak, perasaan Ibu nggak enak.”
“Itu
hanya kekhawatiran Ibu saja.”
“Bukan
itu Nak. Ibu pernah kenal dengan wajah ini. Ibu tidak mensetujui kamu sama dia.”
Suasana
menjadi hening. Fajri diam tidak membantah. Makan pertama kali ini kacau
seketika dengan kegelisahan dan kekhawatiran.
***
Ibu
bangun sebelum subuh tiba. Ia melihat kamar Fajri, ia ingin membangunkan
anaknya shalat subuh. Namun selimut tebal menutupinya. Ia penasaran. Ternyata
hanya guling. Fajri tidak ada, yang ada hanyalah sepucuk surat.
"Maafkan aku Ibu. Aku sangat mencintainya. Aku bahagia
bersamanya. Mengapa Ibu tidak meridhoiku? AKU BENCI SAMA IBU ...
Maaf aku harus pergi ...."
Kenapa kamu nekat Nak?
Kenapa kamu tidak mendengarkan Ibu?
***
Nun
jauh disana, suasana pernikahan dan bulan madu sangat memesona. Kebahagiaan
yang besar sangat dirasakan Fajri. Ia bisa menikahi putri tercantik di
kampusnya dulu. Siapa yang tidak bahagia?
Namun,
Fajri gelisah dan gusar setelah setahun menikah dengan gadis pujaannya. Sebulan
ini ia pulang malam. Memang katanya bekerja. Tapi pulangnya selalu malam. Apa pekerjaannya? Apa ia sibuk? Fajri
mencoba mendatangi kantornya. Ia tancap gas motor hondanya. Jam sebelas malam.
Dingin pun dilalui-nya.
APA????
“Maaf
Fajri, aku hanya mau menikah denganmu karena kekayaan-mu. Aku sama sekali tidak
cinta kepada-mu.”
“PEREMPUAN
KURANG AJAR.” Begitu ia lihat istri-nya sedang berdua-an dengan laki-laki lain.
Pukulan
Fajri mengarah keistrinya. Namun gagal, laki-laki selingkuhan itu menangkap
tangan-nya dan menghajar balik. Fajri terkena pukulan tepat dibagian
pelipisnya. Ia terjatuh dan pingsan.
Setelah
ia sadar, dirinya telah ada di rumah sakit. Ia sangat geram atas kejadian
semalam. Ia juga sudah bertekad untuk menceraikan istrinya. Istri-nya sudah
sangat keterlaluan. Bisa-bisanya ia diperlakukan seperti itu. Ia sangat tidak
diterima. Setelah pulang nanti “awas saja istri kurang ajar itu” geming-nya.
Senja
menanmpakan dirinya. Fajri sudah dibolehkan pulang. Ia tancap gas ke rumah-nya.
Sangat cepat.ia sudah sangat murka dengan istri-nya. Tepat pukul 05.30 sore ia
sampai dirumah. Ia mencari-cari istrinya.
Betapa
kagetnya ia melihat barang-barang istri-nya sudah tidak ada.
Perhiasan-perhiasan juga lenyap. Ia geram. ia mengacak-acak seluruh isi rumah.
Ia membanting semua barang-barang yang ada. Dan ...
Terjatuh
sebuah kertas yang selama ini ia simpan dan ia tidak perdulikan. Dari Ibu. Dulu
ketika surat ini datang, ia sama sekali tidak membacanya. Baginya sudah tidak
penting lagi. Ia sudah sangat benci kepada Ibu-nya. Benci terhadap seseorang
yang telah berjuang melahirkan-nya. Na’uzubillahi
min dzaalik.
"Assalamu’alaikum Nak
Ini Ibu. Bagaimana kabarmu? Mudah-mudahan kamu selalu dalam
lindungan Allah SWT.
Nak, kapan kamu kembali pulang? Paling tidak jenguklah Ibu.
Ibu rindu sekali padamu Nak. Maafkan Ibu bila ibu salah. Jangan engkau benci
pada Ibumu. Ibu memang bodoh, kampungan, dan tidak tahu apa-apa dibanding
pendidikanmu. Tetapi Ibu mohon. Kembalilah Nak, Ibu sangat rindu padamu.
Ibu terkena penyakit kanker hati Nak. Ibu juga tidak tahu
berapa lama lagi Ibu bisa bernafas. Ibu sangat menyayangi-mu. Ibu tunggu
kehadiranmu di rumah
Yang Bodoh ... Ibu"
Selepas
membaca surat, Fajri meneteskan air mata. Ia kembali ingat Ibu. Benar, Ibu yang
telah melahirkan dan merawat sehingga ia sukses seperti ini. Ia mengakui
dosanya.
Fajri
melipat surat itu. Matanya berkaca-kaca. Ia langsung keluar rumah dan tancap
gas ke pusat perbelanjaan terdekat. Ia ingat, Ibu suka dengan kerudung. Dulu,
Ibu pernah bercerita bahwa Ibunya ingin sekali membeli kerudung namun karena
saat itu tidak punya uang tidak jadi membelinya. Petugas toko membungkus rapi
kerudung yang baru ia beli.
Fajri
tancap gas ke rumah asalnya. Ia sampai tepat pukul 20.00 malam. Ia sampai di
halaman rumah. Tangisnya pecah. Ia ingin segera memeluk Ibu. Ia mengucapkan
salam. Sepi tak ada jawaban. Pintu tidak terkunci dan ia langsung masuk kedalam
rumah.
Tidak
ada. Fajri keluar rumah untuk menanyakan kepada warga sekitar.
“Mas,
Ibu memang tidak ada dirumah.” Kata seorang tetangga.
“Lalu
Ibu pergi kemana?” tanya Fajri
Tetangga-nya
diam.
“Hey
jawab!”
“Ibu
Mas, sudah meniggal dua hari yang lalu.”
JLEK
Kerudung
merah itu terlepas jatuh ke tanah. Waktu seolah-olah melambat. Air mata siap
membuat deras di sunyi-nya malam. Fajri terjatuh ke tanah. Ia hanya bisa
merasakan gelap. Semakin gelap dan gelap. Sekarang dan nanti, ia bisa merasakan
betapa penting-nya seseorang yang bernama “IBU”.
***
Bandung,
06-09-2013
0 komentar:
Posting Komentar